dari pelatihan penulisan lagi..... klo yg ini kaya tulisan anak2 hihihihi
~*~*~*~*~*~*~*~*~
HARI BARU YANG INDAH TELAH MENANTI
"Tulalit, ... tulalit, ..." sejak pagi telepon genggamku tak kunjung lelah menerima berbagai sapa.
"Mbak, releasenya sudah di-fax. Sudah diterima atau belum?" - Agung. "Mbak Wie, kita barusan keluar dari ujian pak Adri, pusing deh! Soalnya aja nggak ngerti gimana njawabnya? Salam dari anak-anak." - Arie. "Lagi di mana? Tar ke sini kan?" - Hendro. Kuperiksa sekali lagi, ternyata masih ada juga pesan yang terlewat dan belum terjawab olehku.
Hari ini, aku harus mengikuti pelatihan penulisan, sementara mata dan tubuhku terasa sulit untuk diajak bekerjasama. Untunglah kucuran air dari ledeng biru yang bocor, hingga harus dibalut dengan selotip tebal itu, cukup membuatku merasa sedikit lebih segar.
"Apa enaknya capek-capek kerja? Kok kamu mau sih, memang dibayar berapa? Kalau waktumu habis untuk tidur dan bekerja, kapan kamu bisa bersenang-senang?" Aku sendiri juga pernah mengalami masa-masa dimana aku sama sekali tidak usah memikirkan tanggungjawab, hanya perlu memanjakan diri dengan teman-teman, "bermain" uang, ... masa itu telah berlalu, dan aku lebih menikmati hari ini.
Kulangkahkan kaki keluar dari rumah kontrakan. Teras depan rumah kotor, bekas sepatu anak-anak Madrasah depan rumah. Kerai bambu rontok tersayat tangan jahil pedagang kaki lima yang menumpang duduk dan berjualan di sana. Aku pun berpikir, "Apa yang akan mereka lakukan jika keadaannya terbalik, sehingga aku yang melakukannya terhadap rumah mereka?"
Aku berjanji, "Kendaraan umum apapun yang pertama lewat dan bisa kutumpangi pasti akan kupilih." Hari ini giliran jatuh pada mikrolet merah jurusan Depok-Taman Mini. Hanya sebentar, tapi nikmat juga mendengar celoteh tentang kampus, mal, kecengan, dll., yang terlontar dari bibir di wajah ceria para mahasiswi yang duduk di depanku, membuatku merasa rindu kepada masa lalu." Namun, wajah yang kutemui di peron stasiun benar-benar jauh berbeda. Dengan wajah yang sedih, mulut ibu yang duduk di sampingku seolah tak henti-hentinya berkomat-kamit membaca buku dalam genggamnya.
Kualihkan pikiranku kepada kegembiraan yang kurasakan, karena tidak perlu mampir ke loket untuk membeli tiket, karena aku sudah memiliki tiket langganan bulanan. Dengan tiket itu, setiap saat aku bisa tersenyum dengan bangga kepada kondektur maupun petugas penjaga pintu peron yang meminta kepadaku untuk menunjukkan bukti kesadaranku berkendara. Nikmatnya, hal yang sedemikian sederhana dapat membuatku merasa bahagia, karena aku tidak perlu berpura-pura tidur, atau berlari-larian menghindar dari petugas.
Setibanya di kantor, kusapa mereka melalui telepon, email, mencari bahan, menyusun laporan, dll., yang memang telah menjadi tugasku sehari-hari. Mungkin hari ini aku sibuk, tak punya cukup banyak waktu, tenaga dan tentunya uang, tapi bagiku hari ini merupakan satu langkah maju menuju ke masa depan. Kuberikan segala yang aku punya di hari ini, semoga bisa bermanfaat, baik di hari ini, maupun di masa mendatang. Amin.
~*~*~*~*~*~*~*~*~
HARI BARU YANG INDAH TELAH MENANTI
"Tulalit, ... tulalit, ..." sejak pagi telepon genggamku tak kunjung lelah menerima berbagai sapa.
"Mbak, releasenya sudah di-fax. Sudah diterima atau belum?" - Agung. "Mbak Wie, kita barusan keluar dari ujian pak Adri, pusing deh! Soalnya aja nggak ngerti gimana njawabnya? Salam dari anak-anak." - Arie. "Lagi di mana? Tar ke sini kan?" - Hendro. Kuperiksa sekali lagi, ternyata masih ada juga pesan yang terlewat dan belum terjawab olehku.
Hari ini, aku harus mengikuti pelatihan penulisan, sementara mata dan tubuhku terasa sulit untuk diajak bekerjasama. Untunglah kucuran air dari ledeng biru yang bocor, hingga harus dibalut dengan selotip tebal itu, cukup membuatku merasa sedikit lebih segar.
"Apa enaknya capek-capek kerja? Kok kamu mau sih, memang dibayar berapa? Kalau waktumu habis untuk tidur dan bekerja, kapan kamu bisa bersenang-senang?" Aku sendiri juga pernah mengalami masa-masa dimana aku sama sekali tidak usah memikirkan tanggungjawab, hanya perlu memanjakan diri dengan teman-teman, "bermain" uang, ... masa itu telah berlalu, dan aku lebih menikmati hari ini.
Kulangkahkan kaki keluar dari rumah kontrakan. Teras depan rumah kotor, bekas sepatu anak-anak Madrasah depan rumah. Kerai bambu rontok tersayat tangan jahil pedagang kaki lima yang menumpang duduk dan berjualan di sana. Aku pun berpikir, "Apa yang akan mereka lakukan jika keadaannya terbalik, sehingga aku yang melakukannya terhadap rumah mereka?"
Aku berjanji, "Kendaraan umum apapun yang pertama lewat dan bisa kutumpangi pasti akan kupilih." Hari ini giliran jatuh pada mikrolet merah jurusan Depok-Taman Mini. Hanya sebentar, tapi nikmat juga mendengar celoteh tentang kampus, mal, kecengan, dll., yang terlontar dari bibir di wajah ceria para mahasiswi yang duduk di depanku, membuatku merasa rindu kepada masa lalu." Namun, wajah yang kutemui di peron stasiun benar-benar jauh berbeda. Dengan wajah yang sedih, mulut ibu yang duduk di sampingku seolah tak henti-hentinya berkomat-kamit membaca buku dalam genggamnya.
Kualihkan pikiranku kepada kegembiraan yang kurasakan, karena tidak perlu mampir ke loket untuk membeli tiket, karena aku sudah memiliki tiket langganan bulanan. Dengan tiket itu, setiap saat aku bisa tersenyum dengan bangga kepada kondektur maupun petugas penjaga pintu peron yang meminta kepadaku untuk menunjukkan bukti kesadaranku berkendara. Nikmatnya, hal yang sedemikian sederhana dapat membuatku merasa bahagia, karena aku tidak perlu berpura-pura tidur, atau berlari-larian menghindar dari petugas.
Setibanya di kantor, kusapa mereka melalui telepon, email, mencari bahan, menyusun laporan, dll., yang memang telah menjadi tugasku sehari-hari. Mungkin hari ini aku sibuk, tak punya cukup banyak waktu, tenaga dan tentunya uang, tapi bagiku hari ini merupakan satu langkah maju menuju ke masa depan. Kuberikan segala yang aku punya di hari ini, semoga bisa bermanfaat, baik di hari ini, maupun di masa mendatang. Amin.
Komentar
Posting Komentar