Tugas pelatihan penulisan lagi hihihi
~*~*~*~*~*~*~
"Ada yang bisa saya bantu?" Ujar wanita yang berseragam biru itu, sembari menghampiriku, tanpa meninggalkan senyumnya yang ramah. Aku panik. Lembar bukti pembayaran tiket pesawat yang akan membawaku pulang, terselip entah di mana, dan sebagai akibatnya, aku pun terpisah jauh dari rombongan, yang sama sekali tidak menyadari jika aku sudah jauh tertinggal.
Semakin sibuk aku mencari, semakin sulit aku menemukannya. Dan sekarang, seorang petugas sedang menghampiriku. Jangan-jangan... "Ah, sudah! Singkirkan pikiran buruk itu. Aku memang sedang membutuhkan bantuan. Entah dari siapa."
Kutarik napas dalam-dalam lalu berkata, "Maaf, tapi bukti pembayaran tiket saya terselip. Saya harus bagaimana?" Kukira aku akan segera mendapatkan tanggapan yang 180 derajat berbeda jauh dengan sikap awal yang ditunjukkannya tadi. Mungkin saja dia akan langsung bergaya sok penting, memasang wajah garang dan ribut mempersalahkan keteledoran yang telah aku lakukan. Dalam hati, sekali lagi aku mencaci-maki diriku sendiri, "Mengapa tadi tidak dimasukkan ke dalam saku depan tas kecil saja? Mengapa tidak disatukan saja dengan berkas-berkas yang lainnya? Dasar bodoh! Di mana kamu meletakkannya? Nah lho!"
Petugas berseragam khaki di Jakarta, pernah melakukan "penindasan" terhadap salah satu temanku yang sedang panik dan terburu-buru -takut ketinggalan pesawat- sehingga lupa mengisi Formulir Survey Imigrasi. Hanya karena lupa mengisi formulir saja, dia bisa langsung digiring ke ruang imigrasi. Masih terbayang olehku, raut muka bapak itu, yang hitam dan memerah, saat beradu pendapat denganku yang kebetulan juga sedang berada di sana, asyik "ber-sidejob ria", untuk mengisi kekosongan waktu, selama liburan kuliah, sembari menambah koleksi sertifikat modal melamar pekerjaan, juga tambahan uang saku.
Saat itu aku 100% yakin, temanku itu sama sekali tidak bersalah. Dia hanya perlu mengisi dan mengembalikan formulir tersebut, kemudian masalah bisa diselesaikan, sehingga dia bisa dengan segera berangkat pulang ke negaranya. Lalu, bagaimana denganku sekarang? Aku hanya bisa pasrah saja....
Kupandang wajah petugas yang terbilang masih cukup belia tersebut. Namun pada detik berikutnya, aku berubah pikiran, "Aneh! Ini benar-benar aneh!" Petugas itu ternyata masih saja tersenyum manis, sembari meminta kepadaku untuk menunjukkan passport. Aku pun setengah tidak mempercayai kalimat yang tertangkap oleh indera pendengaranku. "Tidak masalah. Anda masuk saja, kemudian menuju ke sana, lalu tunjukkan passport ini kepada petugas yang berada di sana. Setelah itu, Anda bisa dengan segera berangkat. Ada masalah lain yang perlu saya bantu?"
"Wow!" Kuhembuskan napas lega, berusaha untuk memberikan senyum terindah yang aku bisa, dan segera berlalu setelah mengucapkan terima kasih kepadanya. "Hebat, dia bahkan masih saja menawarkan bantuan!"
Jangka waktu satu jam perjalanan Singapura-Jakarta kulewatkan untuk memikirkannya. Satu-persatu kuurutkan apa saja yang telah kualami di sana. Kakek lanjut usia yang masih saja bekerja mengurus taman di tepi jalan (Setua itu masih saja giat bekerja?); susunan kartu pos dan booklet informasi yang menarik minat siapa saja untuk mengambil dan membacanya secara percuma (Bayangkan berapa banyak biaya yang mereka keluarkan untuk itu semua?); berbagai macam barang peninggalan dari jaman dahulu kala yang bersifat tradisional, namun dengan rajin terus dirawat sehingga tetap tampak cantik tak termakan usia (Coba bandingkan dengan yang ada di negara kita ini...); pemandu Duck Tours yang tampak selalu ceria dan penuh semangat menjelaskan tentang apa saja yang kami temui sepanjang perjalanan (Apa dia tidak merasa bosan karena berkali-kali dalam setiap hari selalu berkeliling kota melewati rute jalan yang itu-itu saja?); berbagai macam peralatan canggih yang diciptakan sebagai pengganti dan pembantu kerja manusia; manusia dengan berbagai macam bentuk, rupa dan warna yang berbaur menjadi satu tanpa merasa perlu saling "menjatuhkan"; burung-burung liar yang beterbangan bebas di pelataran lobi hotel;..., masih banyak lagi, dan tentunya juga si gadis penjaga pintu masuk check in counter di bandara.
Jujur saja, aku tidak tahu pasti bagaimana caranya agar aku dapat dengan tepat melukiskan kekagumanku terhadap segala hal yang telah kutemui tersebut. Aku hanya berpikir, "Iya, ya. Keterbatasan yang mereka miliki ternyata justru telah membuat mereka berhasil melahirkan berbagai macam ide yang unik, menarik dan bermanfaat."
~*~*~*~*~*~*~
"Ada yang bisa saya bantu?" Ujar wanita yang berseragam biru itu, sembari menghampiriku, tanpa meninggalkan senyumnya yang ramah. Aku panik. Lembar bukti pembayaran tiket pesawat yang akan membawaku pulang, terselip entah di mana, dan sebagai akibatnya, aku pun terpisah jauh dari rombongan, yang sama sekali tidak menyadari jika aku sudah jauh tertinggal.
Semakin sibuk aku mencari, semakin sulit aku menemukannya. Dan sekarang, seorang petugas sedang menghampiriku. Jangan-jangan... "Ah, sudah! Singkirkan pikiran buruk itu. Aku memang sedang membutuhkan bantuan. Entah dari siapa."
Kutarik napas dalam-dalam lalu berkata, "Maaf, tapi bukti pembayaran tiket saya terselip. Saya harus bagaimana?" Kukira aku akan segera mendapatkan tanggapan yang 180 derajat berbeda jauh dengan sikap awal yang ditunjukkannya tadi. Mungkin saja dia akan langsung bergaya sok penting, memasang wajah garang dan ribut mempersalahkan keteledoran yang telah aku lakukan. Dalam hati, sekali lagi aku mencaci-maki diriku sendiri, "Mengapa tadi tidak dimasukkan ke dalam saku depan tas kecil saja? Mengapa tidak disatukan saja dengan berkas-berkas yang lainnya? Dasar bodoh! Di mana kamu meletakkannya? Nah lho!"
Petugas berseragam khaki di Jakarta, pernah melakukan "penindasan" terhadap salah satu temanku yang sedang panik dan terburu-buru -takut ketinggalan pesawat- sehingga lupa mengisi Formulir Survey Imigrasi. Hanya karena lupa mengisi formulir saja, dia bisa langsung digiring ke ruang imigrasi. Masih terbayang olehku, raut muka bapak itu, yang hitam dan memerah, saat beradu pendapat denganku yang kebetulan juga sedang berada di sana, asyik "ber-sidejob ria", untuk mengisi kekosongan waktu, selama liburan kuliah, sembari menambah koleksi sertifikat modal melamar pekerjaan, juga tambahan uang saku.
Saat itu aku 100% yakin, temanku itu sama sekali tidak bersalah. Dia hanya perlu mengisi dan mengembalikan formulir tersebut, kemudian masalah bisa diselesaikan, sehingga dia bisa dengan segera berangkat pulang ke negaranya. Lalu, bagaimana denganku sekarang? Aku hanya bisa pasrah saja....
Kupandang wajah petugas yang terbilang masih cukup belia tersebut. Namun pada detik berikutnya, aku berubah pikiran, "Aneh! Ini benar-benar aneh!" Petugas itu ternyata masih saja tersenyum manis, sembari meminta kepadaku untuk menunjukkan passport. Aku pun setengah tidak mempercayai kalimat yang tertangkap oleh indera pendengaranku. "Tidak masalah. Anda masuk saja, kemudian menuju ke sana, lalu tunjukkan passport ini kepada petugas yang berada di sana. Setelah itu, Anda bisa dengan segera berangkat. Ada masalah lain yang perlu saya bantu?"
"Wow!" Kuhembuskan napas lega, berusaha untuk memberikan senyum terindah yang aku bisa, dan segera berlalu setelah mengucapkan terima kasih kepadanya. "Hebat, dia bahkan masih saja menawarkan bantuan!"
Jangka waktu satu jam perjalanan Singapura-Jakarta kulewatkan untuk memikirkannya. Satu-persatu kuurutkan apa saja yang telah kualami di sana. Kakek lanjut usia yang masih saja bekerja mengurus taman di tepi jalan (Setua itu masih saja giat bekerja?); susunan kartu pos dan booklet informasi yang menarik minat siapa saja untuk mengambil dan membacanya secara percuma (Bayangkan berapa banyak biaya yang mereka keluarkan untuk itu semua?); berbagai macam barang peninggalan dari jaman dahulu kala yang bersifat tradisional, namun dengan rajin terus dirawat sehingga tetap tampak cantik tak termakan usia (Coba bandingkan dengan yang ada di negara kita ini...); pemandu Duck Tours yang tampak selalu ceria dan penuh semangat menjelaskan tentang apa saja yang kami temui sepanjang perjalanan (Apa dia tidak merasa bosan karena berkali-kali dalam setiap hari selalu berkeliling kota melewati rute jalan yang itu-itu saja?); berbagai macam peralatan canggih yang diciptakan sebagai pengganti dan pembantu kerja manusia; manusia dengan berbagai macam bentuk, rupa dan warna yang berbaur menjadi satu tanpa merasa perlu saling "menjatuhkan"; burung-burung liar yang beterbangan bebas di pelataran lobi hotel;..., masih banyak lagi, dan tentunya juga si gadis penjaga pintu masuk check in counter di bandara.
Jujur saja, aku tidak tahu pasti bagaimana caranya agar aku dapat dengan tepat melukiskan kekagumanku terhadap segala hal yang telah kutemui tersebut. Aku hanya berpikir, "Iya, ya. Keterbatasan yang mereka miliki ternyata justru telah membuat mereka berhasil melahirkan berbagai macam ide yang unik, menarik dan bermanfaat."
Komentar
Posting Komentar